Perkenalkan terlebih dahulu tentang pribadi saya, nama saya Choirun
Najib, usia masih 21 tahun. Mungkin saya tidak memenuhi kriteria persyaratan
lomba. Karena saya bukan seorang mahasiswa dan belum cukup umur untuk masuk
kategori umum. Tetapi saya hanya ingin berbagi apa yang saya rintis dalam
beberapa tahun ini, juga apa yang masih ada dalam benak fikiran saya. Semoga
tulisan ini mampu menginspirasi sebagian kecil diantara teman – teman yang
kebetulan membaca.
Saya dari kecil hidup dalam keluarga yang sederhana. Bapak dulunya adalah
seorang satpam di sebuah perusahaan skala nasional di Surabaya, sedangkan ibu
menjadi ibu rumah tangga sekaligus membuka usaha kecil di rumah sebagai seorang
penjahit. Dari kecil saya lumayan tercukupi kebutuhannya, hingga akhirnya badai
krisis moneter menyerang dan berakibat PHK untuk bapak saya. Ironi memang,
bapak menjadi pengangguran dan keluarga kami memutuskan pulang ke kampung
halaman, Kediri.
Dalam sekejap saja roda kehidupan keluarga kami mengalami perputaran.
Dari yang awalnya di tengah menjadi menurun ke bawah semenjak bapak menganggur.
Ibu memang masih memiliki pekerjaan berhubung usaha menjahit dari modal
sendiri, namun uang yang dihasilkan tak begitu besar untuk mencukupi kebutuhan
kami sekeluarga. Bapak mencoba melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan di Kediri, tapi paling mentok
hanya jadi seorang sales, karena ijasah yang hanya SMA.
Semenjak kecil saya memang dididik untuk menjadi murid yang pintar, sama
dengan anak – anak yang lainnya. Tak heran saya selalu giat belajar, dan
terjawab dengan beberapa prestasi saya di SD. Mungkin ada banyak anak yang
mengerti apa yang dihadapi orang tuanya sehari – hari seperti saya, tapi tak
sedikit pula mereka tak mau tahu dengan kesulitan yang menimpa orang tua
mereka. Entah karena masih kecil, atau memang sifatnya seperti itu.
Bapak akhirnya memutuskan untuk membuka usaha, bukan hal mudah karena
butuh modal yang lumayan. Setelah cukup mendapat ilmu tentang usaha yang akan
dirintis, dan juga mendapat pinjaman modal dari saudara. Bapak membuka usaha
pembuatan tempe
secara tradisional. Hanya bermodal kedelai, kayu bakar, ragi dan peralatan yang
sederhana.
Dimanapun namanya usaha pasti akan sulit di awal perjalanan. Itu juga
dialami bapak. Mulai dari gagal mendapatkan rasa tempe yang enak, kesulitan pemasaran, bahkan
hutang di konsumen. Hanya impian yang membuat bapak bertahan, juga semangat dan
dukungan penuh dari keluarga kecil kami.
Bapak membuat tempe
awalnya hanya 3 Kg kedelai, beberapa minggu bahkan tidak ada perubahan. Tetapi
berkat keuletan dan semangatnya, bulan demi bulan pun bertambah banyak kedelai
yang dimasak. Apalagi saat Idul Fitri, permintaan tempe menjadi 3 x lipat dari hari biasanya.
Ada 1
prinsip yang sampai sekarang dipertahankan bapak, yaitu tak pernah mau dagangan
tempenya dipasarkan di pasar. Selain nanti mempengaruhi omset yang di dapat,
juga tak mengenal konsumennya secara langsung. Memang, menjual di pasar akan
lebih mudah karena hanya menaruh barang ke pedagang pasar dan siangnya mendapat
uang bila laku. Tapi menurut bapak, itu nantinya tidak cukup menantang baginya.
Justru dengan memasarkan langsung, konsumen akan hafal dan tak akan pindah ke
pedagang lain bila cukup puas dengan apa yang kita tawarkan. Konsep marketing
yang cerdas, dibuktikan dengan beberapa pelanggan setianya sampai sekarang.
Tercatat hampir 10 tahun bapak merintis usaha kecil ini, tapi sekarang hanya
butuh 1 jam bagi beliau untuk melariskan 15 Kg kedelai yang diolah jadi tempe. Kerja 1 jam
keliling dan langsung mendapat omset yang diharapkan.
Bagi saya, tak pernah ada perasaan malu menjadi anak penjual tempe keliling. Ada satu kebanggaan dimana
saya mendapat ilmu kehidupan dan ilmu wirausahanya. Kebanggaan yang belum tentu
dimiliki oleh anak – anak lain yang senasib dengan saya.
Setelah lulus SMA, saya akhirnya memutuskan untuk tak melanjutkannya ke
bangku kuliah. Banyak yang menyayangkan dengan pikiran saya, mereka
menyayangkan kecerdasan saya yang tak dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mengingat kebutuhan dana yang lumayan besar bila saya kuliah, maka saya
beranikan diri untuk tidak lagi bermimpi menjadi seorang sarjana. Saya lihat
sebagian besar teman – teman saya yang kuliah hanya mengejar gelar S1 dan
nantinya mudah mendapat pekerjaan di perusahaan besar. Sebuah pemikiran yang
berkebalikan dengan pemikiran saya. Saya hanya SMA, tapi bisa menjadi
wirausahawan. Bahkan tak sekolahpun bisa menjadi wirausahawan.
Saya mulai merintis usaha saya, bidang desain dan komputer saya pilih.
Mengingat di lingkungan saya masih sedikit yang merintis usaha di bidang
tersebut. Awalnya saya mencoba mencari ilmu desain dengan melamar kerja di
percetakan di Kota Kediri. Saya berhasil menjadi desainer grafis
dan bertahan selama 5 bulan dengan gaji yang pas – pasan. Gaji tak masalah, karena
yang terpenting ilmunya sudah saya dapatkan. Setelah keluar dari percetakan,
saya beranikan diri untuk kredit laptop. Hanya kredit, karena orang tua memang
saat itu lebih fokus ke adik saya yang masih kecil. Angsuran tiap bulan saya
dapatkan dari uang tabungan selama di percetakan, dalam waktu yang tak jauh,
saya juga menjadi sales free lance di usaha teman saya. Sales barang – barang
sembako ke toko – toko, mungkin hanya sedikit pemuda yang mau disuruh menjalani
pekerjaan ini. Rata – rata sudah berumuran kepala 3, itu yang saya lihat di
jalanan.
Tiga bulan saya jalani usaha teman saya menjadi sales di jalanan, ada
tawaran mengejutkan datang dari saudara jauh. Beliau mengabarkan bahwa
perusahaannya membutuhkan seorang admin, dan menyuruh saya melamar kerja
kesitu. Saya menyetujui karena memang butuh uang buat mengangsur laptop
kreditan. Saya diterima dan mendapat gaji yang lumayan cukup.
Hasil kerja sebagai admin mulai saya tabung untuk kebutuhan usaha saya.
Setelah laptop, printer bisa saya beli juga alat – alat yang lainnya. Job pun
mulai berdatangan, mulai dengan pesanan undangan nikah sampai membuat tas
kertas. Saya lebih banyak belajar di internet tentang usaha saya. Sedikit demi
sedikit pelanggan pun mulai banyak berdatangan. Di lain pihak, saya juga
membantu usaha tempe
yang bapak rintis dengan membelikannya mesin giling kedelai. Paling tidak untuk
membantu bapak di usia senjanya nanti.
Memang, semua orang ingin menjadi wirausahawan. Tapi sebagian besar dari
mereka hanya memimpikannya dan selalu beralasan butuh modal yang besar. Kata
siapa? Mereka hanya memberikan alasan yang sangat klise. Bapak dan saya sudah
membuktikan bahwa usaha itu hanya butuh modal niat dan ilmu saja. Bapak hanya
butuh 3 Kg kedelai yang saat itu hanya berharga kurang dari Rp 15.000,- untuk
memulai usahanya. Bahkan saya hanya bermodal keberanian kredit laptop saat itu.
Buat teman – teman terutama yang mengalami keadaan ekonomi tak jauh dari
saya, jangan terpaku dengan uang. Bila memang kalian percaya dengan Tuhan yang
menciptakan kita dan rejeki kita. Jangan pernah takut untuk melangkah, Tuhan
selalu baik kepada kita. Bilapun kalian ingin menjadi wirausahawan, dalami
potensi diri kalian. Bila kamu sudah menemukan potensi apa dalam dirimu, buka
internet dan cari tahu usaha apa yang pas dengan potensimu. Setelah ilmu sudah
kamu kuasai sepenuhnya, niatkan dirimu dan carilah dukungan dari orang
sekitarmu. Itulah modalmu untuk menjadi wirausahawan.
Terakhir untuk semuanya, semoga Indonesia semakin banyak pemuda
yang muncul dengan kreatifitas usahanya. Mewujudkan Indonesia yang penuh SDM handalm
dan tak lagi terlalu berharap dengan bantuan negara lain.
Ayo bermimpi kawan!
Tulisan ini
berhasil menjadi Juara ketiga event Lomba menulis dari Indonesia menulis kategori umum
tema menumbuhkan wirausahawan muda
Bisa di cek ke http://indonesiamenulis.co/pemenang-lomba-menulis-tema-menumbuhkan-wirausaha-muda/
Koment : Mungkin jurinya lagi ingsap atau emang tulisannya baik sih?? :D :D






Tidak ada komentar:
Posting Komentar