Social Icons

twittergoogle pluslinkedinrss feedemail

Pages

Rabu, 27 November 2013

Gerimis di Pagi Hari


            Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang masih lemas. Sisa – sisa lelah akibat mengikuti latihan ekstrakurikuler breakdance di sore kemarin masih melekat di tubuhku. Bahkan air hangat yang mengalir di badanku semalam juga tak mampu menghilangkannya.
            Kubuka jendela kecil kamarku, hawa dingin datang menusuk. Membuat tubuh lelahku menggigil. Hujan rintik – rintik semakin membuat malas tubuh ini untuk beraktifitas, sekolah tentunya. Benar – benar cocok untuk bolos, sudah capek, udara dingin, cuaca gerimis pula. Ibarat kata Demian “sempurna” buat bolos sih. Hehehe.
            Namaku Alika, aku masih terdaftar sebagai siswi SMK Grafika Malang. Kalau kalian tanya umurku pasti kalian bisa menebak, hehehe. Usiaku hampir menyentuh 17 tahun, tepat empat hari lagi 5 Desember 2012 aku akan merasakan gimana menyentuh angka 17 dalam perjalanan hidupku. Kalau kata orang sih Sweet Seventeen ya. Sayangnya, jelang manisnya 17 tahun aku masih saja menyandang status yang hina di mata sebagian besar remaja di bumi ini. Its Jomblo, gak ah aku bukan jomblo, aku single.
            Ke-single-anku sudah berjalan hampir sama dengan usia adik kandungku, Alea. Usianya 13 tahun. Hah??? Aku single selama 13 tahun?? Iya, persis 13 tahun  aku belum pernah merasakan gimana itu pacaran. Pernah sih dulu waktu TK disebut pacaran sama tetangga sebelah, tapi namanya juga anak TK, pacaran cuma buat ajang olok – olokan teman sedesa.
            Aku masih berdiri terdiam di samping jendela kecilku, melihat gerimis kecil, melihat apa yang tengah aku bayangkan untuk pesta kecil ulang tahunku nanti. Senyum kecil pun ku urai saat membayangkan gimana aku akan mengejutkan kedua orang tuaku, dengan sebuah karya tulis yang belum selesai kukerjakan dari awal tahun ini. Aku teringat, kubuka laci mejaku dan kuambil segera buku bercover putih polos belum berjudul tersebut.
            Aku beranjak menuju meja,
            “Huhhhhh, fighting again now.” suaraku untuk membangkitkan inspirasi menulisku lagi. Masih perlu satu sub bagian lagi agar novelku menjadi lebih pantas dibaca. Tenang, satu penerbit sudah siap meluncurkan novelku ini. Penerbit yang tak lain adalah kakakku sendiri. Seenggaknya dia siap menerbitkan bukuku untuk dibaca di kalangan rumahnya sendiri, huhf sial.

           
*******

            “Alika, sarapannya gak dihabisin?” tanya mami yang melihatku sedang mengenakan helm pigletku.
            “Gak ah Mi, ntar Alika telat kayak kemarin loh.”
            “Ya sudah, hati – hati ya kamu dijalan. Di luar masih gerimis, kamu pakai mantel kan?”
            “Pasti mamiku sayang, tuh sudah Alika siapin kok di jok motor. Alika berangkat dulu ya.” pamitku seraya mencium tangan mami.
            Aku bergegas menuju sekolah, terakhir kulirik jam dinding di ruang makan menunjukkan pukul 06.05 dan sekarang hampir 15 menit berlalu. Aku tak ingin lagi berhadapan dengan Pak Gatot si Sekuriti sekolah. Gara – gara telat dan terkena hukuman hormat bendera selama 1 jam pelajaran, gagal total deh aku jadi siswi teladan di sekolah. Pak Gatot emang sengaja buat gagal total rencanaku. Huh.
            Cuaca masih gerimis, segerimis hariku? Enggaklah. Aku bukan type galauers pemirsa, hehe. Gerimis yang menginspirasiku menulis tadi kini harus kuterjang demi mendapat ilmu di sekolah. Meski hanya gerimis ringan tapi lumayan mengganggu daya pandangku di perjalanan. Gerimis yang menginspirasiku ternyata juga menghalangi langkah kecilku. Semoga gerimis ini tak menghentikan semua rencana besarku.

******

            Mataku terbuka dengan pelan, terlihat hanya warna putih kekuningan di hadapanku. Sesuatu yang ternyata adalah langit – langit di sebuah ruangan. Ruangan yang ternyata bukan kamarku, jadi aku dimana? Belum sempat aku menjawab tanya batinku sendiri. Tubuhku rasanya seperti hancur tak karuan. Kugerakkan tanganku perlahan, meski lemas tapi aku berusaha untuk bergerak. Kugerakkan juga kaki mungilku, namun alangkah sakitnya hingga aku merintih setengah berteriak.
            “Alika, kamu sudah sadar Nak?” suara mami yang ternyata ada di samping tempatku berbaring. Aku tatap wajahnya. Mami hanya tersenyum setengah terisak.
            “Aku dimana Mi?”
            “Alika, kamu tadi kecelakaan Nak di jalanan pasar loak dekat sekolahmu. Beruntung tadi banyak yang menyelamatkan kamu. Sekarang kamu di rumah sakit Nak.” Mami berusaha menjelaskan dengan memberikan belaian lembut di rambutku. Aku baru tersadar bahwa jilbab dan seragam sekolahku sudah tak lagi melekat di tubuh.
            Aku terisak, rasa sakit di kaki kananku semakin terasa.
            “Mi, sakit sekali kakiku. Ada apa Mi dengan kakiku?” tanyaku ke Mami.
            Mami terdiam, beberapa detik kemudian dia menghela nafas dan siap memberikan kejelasan apa yang tengah kurasakan.
            “Kaki kananmu patah Al, tertimpa body motor maticmu Sayang. Tapi tenang aja, dokter siap memasang platina ke dalam kakimu nanti siang. Alika tenang aja ya sayang.”
            Mami tersenyum dan menguatkanku. Aku sendiri belum tahu apa aku masih kuat untuk menerima kenyataan ini semua. Kenyataan yang begitu pahit, kenyataan yang akan membuat rencana di hari ulang tahunku berantakan. Kenyataan yang membuat aku begitu membenci gerimis di pagi hari tadi.
           
*********

            Aku terdiam di ruangan kamarku sendirian, mami sedang menjemput adik bungsuku di rumah. Sedangkan papa dan kakakku memang jauh dari Malang untuk memberi nafas ringan di kehidupan kami. Mereka berdua tengah berada di ibukota dan aku sendiri belum tahu apa mereka mengerti keadaanku sekarang.
            Sisa – sisa bius yang tadi dimasukkan tubuhku saat operasi kecil pemasangan platina  lumayan membuat sukses lemas diriku. Sudah pagi – pagi bangun lemas sekarang lemas lagi. Andai tadi aku ikuti kata – kata “sempurna” nya Demian tentang malasnya beraktifitas saat pagi tadi. Pasti aku terhindar dari keadaan yang malah membuat kacau pikiranku ini. Dasar Demian manusia ilusionis, kenapa kamu cerai segala sih sama Yulia Rahman, loh kok malah ngelantur gini pikiranku.
            Lamunanku kini tertuju ke novelku. Apa mungkin bisa selesai mengingat tubuh dan otakku yang kayak gini. Sempat tadi aku dengar perkataan Dokter Afandi, bahwa aku juga mengalami gegar otak ringan. Untuk itu beliau memberitahu mami, agar aku mengistirahatkan tubuh dan pikiranku terlebih dahulu. Huhf, lengkap sudah gejolak yang terjadi di diriku sekarang.
            Pintu kamarku tiba – tiba terbuka, ternyata ada seorang OB yang akan membersihkan kamarku.
            “Permisi mbak, maaf mengganggu sebentar. Saya mau membersihkan ruangannya.” kata OB yang ternyata bernama Ozi, sempat melirik badge namanya di dada, cakep juga nih OB hehehe.
            “Silahkan mas, nitip buangin botol air mineralnya juga ya.” sahutku sambil tersenyum salah tingkah. Aw aw tak tahu darimana datangnya tiba – tiba terdengar lagu Salah Tingkahnya RAN di otakku. Dasar jomblo ngenes, ketemu cowok cakep langsung berbunga – bunga.
            Si OB tadi cukup cepat membersihkan ruanganku, atau emang karena pikiranku saja yang terlalu berbunga hingga semua terkesan begitu cepat.

*******


            Keesokan paginya, aku terbangun dengan tubuh yang lumayan lebih enak dibandingkan sehari sebelumnya. Mami sudah menyiapkan susu di meja kamarku. Aku melihat Alea tengah asyik menonton kartun Spongebob di TV depan ranjangku.
            “Alea gak sekolah?” tanyaku mengagetkannya.
            “Woo kak Alika udah bangun toh, bikin Alea dag dig dug aja. Ini kan hari minggu kak, ngapain Alea ke sekolah? Si Bimo juga gak ke sekolah kan minggu – minggu gini.”
            Bimo adalah pacar Alea, dasar anak jaman sekarang. Masih SD aja udah pacaran, sering juga SMS-an. Gimana gedenya entar.
            “Sini deh Al, kakak punya sesuatu buat kamu.” Kataku seraya merencanakan kejahilan ke Alea.
            “Apa sih kak.” Alea mendekat dan kucubit kedua pipinya sampai dia meringis kesakitan.
            “Nih buat Alea, kecil – kecil udah pacaran. Aku bilangin Kak Ega biar diboyong kamu ke Jakarta bareng Papa juga, biar pisah sama Bimo wekkkk.”
            Alea melepaskan cubitanku ke pipinya dan berlari menghindar.
            “Biarin, daripada kak Alika yang udah gede belum pernah pacaran.”
            Huh, dasar anak kecil. Tau aja gimana caranya membalikkan omongan.
            Pertengkaran kami terhenti saat pintu kamar terbuka, ternyata Dokter Afandi yang akan memeriksa keadaanku pagi ini. Dokter paruh baya tersebut ditemani dua perawat yang cantik yang membawa peralatan periksanya.
            “Pagi Alika.” taruh Dokter Afandi.
            “Pagi dok.” jawabku dengan sedikit senyum bernada grogi.
            “Dokter mau memeriksa keadaan kamu, gimana? Masih terasa pusing?”
            “Lumayan sih dok, apa Alika hari ini boleh pulang?”
            “Alika perlu istirahat dulu biar cepat pulih, istirahatkan tubuh dan pikirannya biar bisa aktifitas lagi. Meskipun kakimu masih butuh waktu buat berjalan normal lagi.”
            Aku terdiam kemudian, melayangkan pandangan ke arah apa yang terjadi di beberapa hari ke depan. Apa yang terjadi dengan kejutan yang kurencanakan di ulang tahunku. Jika otak dan tubuhku haris istirahat total dalam beberapa hari, bisa dipastikan novel kejutanku tak akan pernah selesai. Gerimis di pagi hari seakan menghancurkan hariku, siang sore dan malam seakan tak berarti lagi buatku.

******

            “Alika, sini mami suapin.”
            Aku menggeleng perlahan. Tatapanku kosong dan tubuhku sedari tadi terduduk mematung di ranjangku. Sejak keluarnya Dokter Afandi dari kamarku, aku hanya diam dan diam. Bahkan Alea yang menggodaku tak kugubris sama sekali.
            “Alika, dari pagi kamu belum makan. Sekarang hampir jam 2 siang nak.” Mami kembali berusaha menyadarkanku dari kekosongan jiwaku.
            Mungkin bagi sebagian orang, aku terlalu melebihkan keadaan. Hanya ulang tahun ke-17 saja aku sampai menyiksa diriku sendiri. Tapi entahlah, aku memang ingin memberi kejutan akan karyaku ke orang tua. Aku tak ingin mengulang kesalahan Kak Ega, kakakku. Di saat ultahnya yang ke-17 dia malah memberikan kami sekeluarga sureprise negatif dengan dipergokinya dia bersama pacarnya di sebuah kamar hotel. Kami sekeluarga shock, terlebih aku sebagai adik kesayangannya. Untuk itulah aku berusaha agar di ultahku yang ke-17 berkesan positif bagi mereka.
            Tatapanku kini mengarah ke pintu yang diketuk dan sedetik kemudian terbuka. Ah si OB cakep lagi ternyata yang datang, kali ini hatiku tak berbunga – bunga lagi seperti kemarin ketika dia datang. Mungkin gejolak hatiku lebih kuat dibandingkan perasaan sukaku melihat wajah manisnya.
            “Maaf mbak, kok nasinya masih utuh.” tanya si OB kepadaku.
            “Iya, gak mud makan.” jawabku cuek.
            “Wah, padahal kalau gak makan kan gak boleh minum obat. Kalo gak minum obat, mana bisa cepat sembuh mbak.”
            “Biarin, emang kamu mau apa kalo aku gak cepat sembuh.”
            Aku kaget mendengar suaraku sendiri yang menjawab begitu jutek ke si OB cakep tersebut. Perasaan menyesal yang kini kurasakan.
            “Saya kan cuma kasihan saja sama mbak, cantik – cantik tapi gak sembuh dari sakitnya, hehe.”
            Mendengar jawaban si OB tadi, aku sedikit tersenyum. Ah, dasar cowok dimana aja suka gombal. Tapi kenapa juga setiap cewek bila digombali langsung jadi GR banget. Perlu dibedah secara ilmiah nampaknya, hehehe.
            Senyum yang awalnya kecil tadi begitu awet hinggap di raut wajahku, terlebih saat si OB tadi keluar kamarku. Huh, begitu damai yang kurasa. Rasanya semua pikiran dan lamunan burukku tadi menghilang dengan cepat. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?

********

            Hari ini hari ketigaku berbaring di RS, aku terbangun dengan ruangan kosong tak berteman, dari dekat tempatku berdering nada dering ponselku yang berbunyi.
            “Halo mami.” Jawabku mengangkat telefon yang ternyata dari mami.
            “Alika, kamu udah bangun? Mami nganter Alea dulu ke sekolah. Kalo butuh apa – apa kamu panggil suster ya. Tadi udah mami bilangin kok.”
            “Iya mami, mami tenang aja.”
            Telefon ditutup, dan sedetik kemudian giliran nada dering perutku yang berbunyi.
            “Aduh, laper.” rintihku sendirian. Aku ingat kalau seharian kemarin tidak mengisi perutku dengan makanan secuilpun. Andai perutku bisa berbahasa manusia pasti dia tak hanya ngomel dengan bunyi krucuk aja. Melainkan ngomel bermacam kata mirip Pak Gatot ngomelin anak yang berangkat telat ke sekolah.
            Kulihat sebuah nasi hangat di meja samping ranjangku. Aku berusaha menggapainya. Malas banget sih kalau hanya ngambilin nasi harus teriak suster buat ngambilin. Namun, usahaku menggapai impian ringanku berupa sepiring nasi hangat sulit sekali dicapai. Selain kakiku yang masih sakit untuk dibuat gerak, badanku juga terasa kaku akibat terlalu lama berbaring di ranjang. Usahaku seperti sudah maksimal dan akan gagal, tetapi aku justru dikagetkan dengan satu sosok yang membantuku mengambilkan makanan tersebut.
            “Loh, kamu.” aku kaget lalu setengah malu.
            Sosok yang ternyata si Ozi, OB cakep yang masuk untuk membersihkan kamar. Kali ini dia tak mengetuk pintu kamarku karena kemarin pagi dia masuk dalam kondisi aku dan Alea masih tidur, sedangkan mami keluar.
            “Akhirnya laper juga kan mbak, hahaha.” ejeknya. Aku hanya diam menunduk malu.
            “Aku suapin sekalian aja mbak, biar mbaknya gak kesulitan karena tangannya diinfus.”
            Aku sempat menolak, namun Ozi memberikan senyuman mautnya sehingga dengan terpaksa (sambil kegirangan dalam hati) menuruti apa maunya untuk menyuapiku.
            Selesai sarapan, Ozi mengajakku keliling RS. Dengan bantuan kursi roda dan juga didorong Ozi. Suasana ramai rumah sakit membuatku sedikit bangun dari pikiran buruk seharian kemarin. Ozi mengajakku ke taman belakang RS, dan disanalah kami beristirahat sejenak. Kami serasa sudah lama kenal, padahal baru akrab pagi ini juga.
            Di tengah asyiknya ngobrol, gerimis datang dan membuat kami berlarian berteduh. Kami berteduh di balkon yang berada di tengah taman.
            “Masih jam 8 pagi tapi udah gerimis gini ya Al.” kata Ozi seraya menatap langit tempat hujan berasal.
            “ Iyah, aku benci gerimis di pagi hari seperti ini.” jawabku seraya menunduk.
            Aku menceritakan semuanya ke Ozi, tentang gerimis yang membunuh semua rencanaku. Tentang kecelakaan yang membuatku harus melupakan kejutan yang kusiapkan di pesta sweet seventeen ku.
            “Al, kamu pernah merasakan gak?? Gerimis di pagi hari tapi saat sore atau malam justru cuaca langit sangat cerah.” Ozi membuatku penasaran dengan kalimat yang diungkapkannya barusan kepadaku.
            “Maksudnya?”
            “ Kita tidak akan pernah tahu kapan hujan akan datang. Kita hanya tau tanda – tandanya saja kan? Tapi bukan berarti saat pagimu dihiasi gerimis maka harimu sepenuhnya juga akan mengalami hal serupa. Bisa saja justru di malam yang kamu harapkan akan menjadi bersahabat denganmu.” Ozi menjawab dengan raut mukanya yang serius.
            “Tapi Zi?” sanggahku.
            “Waktumu memang gak sedikit Al buat melanjutkan apa yang kamu rencanakan selama ini. Tapi kamu harus yakin bahwa kamu bisa membalikkan keadaan untuk malam yang cerah dipenuhi bintang.”

*******

            Aku masih memikirkan kata – kata terakhir yang keluar dari mulut Ozi di balkon taman kemarin. Aku sendiri bertanya, apakah aku mampu meraih malam cerahku dalam waktu sesingkat ini? Apakah aku mampu membuat semuanya menjadi seperti sedia kala? Memang kalau dihitung, masih ada 1 hari untuk memulai melanjutkan novel buatanku. Tapi aku juga butuh inspirasi yang tak mudah kutuliskan dalam sesaat.
            Aku melihat jam dinding di kamarku, tepat jam setengah 8 pagi. Aku menantikan kehadiran seseorang yang pagi kemarin membuatku tersadar dari mimpi burukku, Ozi si OB manis dan mungkin juga seseorang yang aku cinta.
            Pintuku diketuk seseorang dari luar, dan beberapa detik kemudian terbuka. Aku siap menyambut sosok di balik pintu tersebut dengan senyuman yang menghias di wajahku. Senyuman yang hanya bertahan sekian detik karena sosok tersebut bukan yang aku tunggu.
            “Maaf mbak, mau saya bersihkan ruangannya.”
            “Mas, kok sekarang ganti mas yang bersihin ruangan saya? Ozi dimana?” tanyaku ke OB yang tengah sibuk merapikan kursi di ruanganku.
            “Ozi hari ini libur mbak.”jawabnya singkat dengan senyuman yang ringan.
            Aku terdiam, lumayan kecewa sih karena sedikit demi sedikit terselip rasa kerinduan di hati ini akan sosok OB manis yang pagi kemarin menyuapiku. Setelah membereskan ruanganku, OB tadi keluar dan berpapasan dengan mami di pintu.
            “Alika, mami ada berita baik buat kamu?” mami memelukku ceria.
            “Kamu siang ini juga sudah dibolehkan dokter untuk pulang.” Mami semakin erat memelukku.
            Aku hanya diam, entah harus merasa senang atau sedih.

*****

            Aku terduduk di ranjang, kali ini bukan ranjang rumah sakit yang kutempati selama tiga hari terakhir. Entah kali ini apa yang kupikirkan, pikiranku sekarang tak lagi dipenuhi dengan kebencian akan gerimis yang membunuh semua rencana sweet seventeenku. Pikiran yang malah merindukan gerimis pagi di balkon tengah taman rumah sakit. Merindukan sosok yang bersamaku saat itu, sosok yang membuatku terasa berbunga – bunga saat bersamanya.
            Aku melihat ke arah meja belajarku. Hanya ada buku cover putih polos dan sebuah pensil. Yang membuatku ingat bahwa beberapa hari lalu aku berada di meja itu, menuliskan lanjutan novel yang kusiapkan di hari ultahku.
            Aku berjalan perlahan menuju buku tersebut, dengan bantuan krek yang disediakan mami untuk membantuku berjalan. Kubuka buku tersebut lembar demi lembar, tanpa kusadari air mataku menetes mengalir membasahi pipiku. Aku sadar, novelku tinggal sedikit lagi selesai. Dan aku harus menyelesaikannya sekarang juga. Tak ada waktu lagi.
            Dengan ditemani malam yang cerah, bintang yang menghiasi langit dan terlihat begitu indah dari luar jendela kamarku. Aku menyelesaikan novel yang kutulis beberapa bulan ini.
            “Malam ini seakan menjawab semua keraguan pagiku. Keraguan karena gerimis pagi, keraguan akan hari yang kujalani. Aku percaya bahwa gerimis pagi tak selalu membuat hari kita tak bernyawa. Aku percaya dan aku bisa menyambut pagi esoknya dengan lebih baik dari pagi ini. Aku yakin dan pasti bisa, karena senyummu juga karena kekuatan cinta di hatiku. Selamat ulang tahun yang ke – 17 untuk diriku sendiri.Terima kasih papa dan mami, terima kasih Kak Ega dan Alea, juga terima kasih padamu gerimis di pagi hari.”

********

            Semerbak aroma embun pagi memasuki kamarku, ternyata aku lupa semalam tak menutup jendela kamarku. Aku terbangun di atas kursi belajarku, kulihat buku cover putih polos yang masih membuka tepat di halaman akhir.
            “Ah, selesai sudah novel karyaku,” gumamku bangga dengan apa yang kukerjakan semalaman.
            Aku bangkit dari kursi tidurku semalam. Menuju pintu kamar dengan bantuan krek dan buku cover putih di genggaman tangan kiriku.
            “Selamat ulang tahun Alikaaaaaaaa!” teriak semua yang ada di balik pintu kamarku ketika aku membuka sebagian pintu tersebut. Aku melihat Kak Ega, papa, mami dan si kecil Alea. Mereka ternyata sudah siap di depan pintu kamarku sejak 15 menit yang lalu.
            Mereka bergiliran mengucapkan selamat atas 17 tahunku. Tak lupa aku mencium tangan papa dan mami. Kami kemudian bercanda gurau di ruangan tengah, lengkap dengan camilan masakan mami dari shubuh tadi. Juga boneka kado dari Kak Ega yang sengaja dibungkus dengan kertas koran. Alangkah serunya kebersamaan ini.
            “Ehm, papa mami kakak Ega dan semuanya, Alika mau ngomong nih.” kataku yang membuat semua terdiam penasaran.
            “Apa sayang? Ngomong saja. Mau ngomong kalau Alika udah punya pacar ya.” canda papa sambil melirik genit.
            “Iya mungkin Pa, denger – denger Alika kemarin sempat jalan sama cowok pas di RS, hayooo.” kali ini mami yang membuat jantungku deg – degan dan membuat salang tingkah raut wajahku.
            “Enggak, Pa, Mi. Alika udah nyiapin sesuatu di ulang tahun ke – 17 Alika, ini buat papa dan mami, juga buat kak Ega.” kataku seraya menyerahkan novel bercover putih polos ke tangan mami.
            Mami dan papa hanya menjawab dengan bahasa wajahnya. Senyum di bibir mereka sudah membuatku senang tak terkira. Kak Ega yang penasaran mencoba merebut si cover putih dari mami, tapi selalu digagalkan oleh papa yang ikut membaca novel karyaku bersama mami.
            “Terima kasih ya Alika, kamu buat mami dan papa jadi bangga. Walaupun hanya novel ringan tapi kamu sudah berusaha menunjukkan apa yang kamu bisa ke kita.” mami memelukku, mencium kening dan rambut depanku.
            Papa terdiam, juga Kak Ega yang berulang kali mengelus lenganku dengan pelan.
            “Ini ada titipan Al, dari seorang cowok yang mami temui di apotik RS kemarin sore,” tambah mami lagi seraya memberikan selembar kertas putih padaku.
            Aku membuka kertas tersebut dan membacanya dalam hati.
            “Dear Alika, aku senang kamu sembuh. Maaf ya aku tak bisa menemuimu di hari terakhirmu di RS. Tapi aku tetap ingin menjalin pertemanan kok denganmu. Di bawah ini aku cantumkan nomer ponselku, kamu bisa menghubunginya kapanpun. Semoga kamu cepat pulih dan tak lagi takut pada gerimis di pagi hari. Salam hangat dariku, Ozi.”
            Entah kenapa dengan membaca tulisannya aku cukup berbunga – bunga. Kini yang kurasakan begitu indah, melihat senyum semua keluargaku di hari bahagiaku. Aku tak lagi trauma akan gerimis di pagi hari itu, karena senyummu juga karena perasaan yang timbul dari kita bertemu. Gerimis di pagi hari yang membuat malamku malah bertabur bintang. Terima kasih Ozi, si gerimis di pagi hari.

Sekian

Cerpen ini ngibrit ikutan lombanya Gradien - Kisah aku, kau, dan hujan
 Gagal terbit sih, tapi prestasinya :
1. Yang nganterin gue buat bisa ikutan Kampus Fiksi
2. Pernah ditaksir (mungkin dia insap) sama akun Bumy Dinasty untuk jadi ghost writer di tulisannya. Meski sampai sekarang kerjasamanya juga gak jelas, dan kapan novelnya mau dimulai nulisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar