Pagi ini aku terbangun dengan tubuh
yang masih lemas. Sisa – sisa lelah akibat mengikuti latihan ekstrakurikuler
breakdance di sore kemarin masih melekat di tubuhku. Bahkan air hangat yang
mengalir di badanku semalam juga tak mampu menghilangkannya.
Kubuka jendela kecil kamarku, hawa
dingin datang menusuk. Membuat tubuh lelahku menggigil. Hujan rintik – rintik
semakin membuat malas tubuh ini untuk beraktifitas, sekolah tentunya. Benar –
benar cocok untuk bolos, sudah capek, udara dingin, cuaca gerimis pula. Ibarat
kata Demian “sempurna” buat bolos sih. Hehehe.
Namaku Alika, aku masih terdaftar sebagai
siswi SMK Grafika Malang. Kalau kalian tanya umurku pasti kalian bisa menebak,
hehehe. Usiaku hampir menyentuh 17 tahun, tepat empat hari lagi 5 Desember 2012
aku akan merasakan gimana menyentuh angka 17 dalam perjalanan hidupku. Kalau
kata orang sih Sweet Seventeen ya. Sayangnya, jelang manisnya 17 tahun aku
masih saja menyandang status yang hina di mata sebagian besar remaja di bumi ini.
Its Jomblo, gak ah aku bukan jomblo, aku single.
Ke-single-anku sudah berjalan hampir
sama dengan usia adik kandungku, Alea. Usianya 13 tahun. Hah??? Aku single
selama 13 tahun?? Iya, persis 13 tahun
aku belum pernah merasakan gimana itu pacaran. Pernah sih dulu waktu TK
disebut pacaran sama tetangga sebelah, tapi namanya juga anak TK, pacaran cuma
buat ajang olok – olokan teman sedesa.
Aku masih berdiri terdiam di samping
jendela kecilku, melihat gerimis kecil, melihat apa yang tengah aku bayangkan untuk
pesta kecil ulang tahunku nanti. Senyum kecil pun ku urai saat membayangkan
gimana aku akan mengejutkan kedua orang tuaku, dengan sebuah karya tulis yang
belum selesai kukerjakan dari awal tahun ini. Aku teringat, kubuka laci mejaku
dan kuambil segera buku bercover putih polos belum berjudul tersebut.
Aku beranjak menuju meja,
“Huhhhhh, fighting again now.”
suaraku untuk membangkitkan inspirasi menulisku lagi. Masih perlu satu sub
bagian lagi agar novelku menjadi lebih pantas dibaca. Tenang, satu penerbit
sudah siap meluncurkan novelku ini. Penerbit yang tak lain adalah kakakku
sendiri. Seenggaknya dia siap menerbitkan bukuku untuk dibaca di kalangan
rumahnya sendiri, huhf sial.
*******
“Alika, sarapannya gak dihabisin?”
tanya mami yang melihatku sedang mengenakan helm pigletku.
“Gak ah Mi, ntar Alika telat kayak
kemarin loh.”
“Ya sudah, hati – hati ya kamu
dijalan. Di luar masih gerimis, kamu pakai mantel kan?”
“Pasti mamiku sayang, tuh sudah
Alika siapin kok di jok motor. Alika berangkat dulu ya.” pamitku seraya mencium
tangan mami.
Aku bergegas menuju sekolah,
terakhir kulirik jam dinding di ruang makan menunjukkan pukul 06.05 dan
sekarang hampir 15 menit berlalu. Aku tak ingin lagi berhadapan dengan Pak
Gatot si Sekuriti sekolah. Gara – gara telat dan terkena hukuman hormat bendera
selama 1 jam pelajaran, gagal total deh aku jadi siswi teladan di sekolah. Pak
Gatot emang sengaja buat gagal total rencanaku. Huh.
Cuaca masih gerimis, segerimis
hariku? Enggaklah. Aku bukan type galauers pemirsa, hehe. Gerimis yang
menginspirasiku menulis tadi kini harus kuterjang demi mendapat ilmu di
sekolah. Meski hanya gerimis ringan tapi lumayan mengganggu daya pandangku di
perjalanan. Gerimis yang menginspirasiku ternyata juga menghalangi langkah
kecilku. Semoga gerimis ini tak menghentikan semua rencana besarku.
******
Mataku terbuka dengan pelan,
terlihat hanya warna putih kekuningan di hadapanku. Sesuatu yang ternyata
adalah langit – langit di sebuah ruangan. Ruangan yang ternyata bukan kamarku,
jadi aku dimana? Belum sempat aku menjawab tanya batinku sendiri. Tubuhku
rasanya seperti hancur tak karuan. Kugerakkan tanganku perlahan, meski lemas
tapi aku berusaha untuk bergerak. Kugerakkan juga kaki mungilku, namun alangkah
sakitnya hingga aku merintih setengah berteriak.
“Alika, kamu sudah sadar Nak?” suara
mami yang ternyata ada di samping tempatku berbaring. Aku tatap wajahnya. Mami
hanya tersenyum setengah terisak.
“Aku dimana Mi?”
“Alika, kamu tadi kecelakaan Nak di
jalanan pasar loak dekat sekolahmu. Beruntung tadi banyak yang menyelamatkan
kamu. Sekarang kamu di rumah sakit Nak.” Mami berusaha menjelaskan dengan
memberikan belaian lembut di rambutku. Aku baru tersadar bahwa jilbab dan
seragam sekolahku sudah tak lagi melekat di tubuh.
Aku terisak, rasa sakit di kaki
kananku semakin terasa.
“Mi, sakit sekali kakiku. Ada apa Mi dengan
kakiku?” tanyaku ke Mami.
Mami terdiam, beberapa detik
kemudian dia menghela nafas dan siap memberikan kejelasan apa yang tengah
kurasakan.
“Kaki kananmu patah Al, tertimpa
body motor maticmu Sayang. Tapi tenang aja, dokter siap memasang platina ke
dalam kakimu nanti siang. Alika tenang aja ya sayang.”
Mami tersenyum dan menguatkanku. Aku
sendiri belum tahu apa aku masih kuat untuk menerima kenyataan ini semua. Kenyataan
yang begitu pahit, kenyataan yang akan membuat rencana di hari ulang tahunku
berantakan. Kenyataan yang membuat aku begitu membenci gerimis di pagi hari
tadi.
*********
Aku terdiam di ruangan kamarku
sendirian, mami sedang menjemput adik bungsuku di rumah. Sedangkan papa dan
kakakku memang jauh dari Malang
untuk memberi nafas ringan di kehidupan kami. Mereka berdua tengah berada di
ibukota dan aku sendiri belum tahu apa mereka mengerti keadaanku sekarang.
Sisa – sisa bius yang tadi
dimasukkan tubuhku saat operasi kecil pemasangan platina lumayan membuat sukses lemas diriku. Sudah
pagi – pagi bangun lemas sekarang lemas lagi. Andai tadi aku ikuti kata – kata
“sempurna” nya Demian tentang malasnya beraktifitas saat pagi tadi. Pasti aku
terhindar dari keadaan yang malah membuat kacau pikiranku ini. Dasar Demian
manusia ilusionis, kenapa kamu cerai segala sih sama Yulia Rahman, loh kok
malah ngelantur gini pikiranku.
Lamunanku kini tertuju ke novelku. Apa
mungkin bisa selesai mengingat tubuh dan otakku yang kayak gini. Sempat tadi
aku dengar perkataan Dokter Afandi, bahwa aku juga mengalami gegar otak ringan.
Untuk itu beliau memberitahu mami, agar aku mengistirahatkan tubuh dan
pikiranku terlebih dahulu. Huhf, lengkap sudah gejolak yang terjadi di diriku
sekarang.
Pintu kamarku tiba – tiba terbuka,
ternyata ada seorang OB yang akan membersihkan
kamarku.
“Permisi mbak, maaf mengganggu
sebentar. Saya mau membersihkan ruangannya.” kata OB yang ternyata bernama Ozi,
sempat melirik badge namanya di dada, cakep juga nih OB
hehehe.
“Silahkan mas, nitip buangin botol
air mineralnya juga ya.” sahutku sambil tersenyum salah tingkah. Aw aw tak tahu
darimana datangnya tiba – tiba terdengar lagu Salah Tingkahnya RAN di otakku. Dasar
jomblo ngenes, ketemu cowok cakep langsung berbunga – bunga.
Si OB tadi cukup cepat membersihkan
ruanganku, atau emang karena pikiranku saja yang terlalu berbunga hingga semua
terkesan begitu cepat.
*******
Keesokan paginya, aku terbangun
dengan tubuh yang lumayan lebih enak dibandingkan sehari sebelumnya. Mami sudah
menyiapkan susu di meja kamarku. Aku melihat Alea tengah asyik menonton kartun
Spongebob di TV depan ranjangku.
“Alea gak sekolah?” tanyaku
mengagetkannya.
“Woo kak Alika udah bangun toh,
bikin Alea dag dig dug aja. Ini kan
hari minggu kak, ngapain Alea ke sekolah? Si Bimo juga gak ke sekolah kan minggu – minggu
gini.”
Bimo adalah pacar Alea, dasar anak
jaman sekarang. Masih SD aja udah pacaran, sering juga SMS-an.
Gimana gedenya entar.
“Sini deh Al, kakak punya sesuatu
buat kamu.” Kataku seraya merencanakan kejahilan ke Alea.
“Apa sih kak.” Alea mendekat dan kucubit
kedua pipinya sampai dia meringis kesakitan.
“Nih buat Alea, kecil – kecil udah
pacaran. Aku bilangin Kak Ega biar diboyong kamu ke Jakarta bareng Papa juga, biar pisah sama
Bimo wekkkk.”
Alea melepaskan cubitanku ke pipinya
dan berlari menghindar.
“Biarin, daripada kak Alika yang
udah gede belum pernah pacaran.”
Huh, dasar anak kecil. Tau aja
gimana caranya membalikkan omongan.
Pertengkaran kami terhenti saat
pintu kamar terbuka, ternyata Dokter Afandi yang akan memeriksa keadaanku pagi
ini. Dokter paruh baya tersebut ditemani dua perawat yang cantik yang membawa
peralatan periksanya.
“Pagi Alika.” taruh Dokter Afandi.
“Pagi dok.” jawabku dengan sedikit
senyum bernada grogi.
“Dokter mau memeriksa keadaan kamu,
gimana? Masih terasa pusing?”
“Lumayan sih dok, apa Alika hari ini
boleh pulang?”
“Alika perlu istirahat dulu biar
cepat pulih, istirahatkan tubuh dan pikirannya biar bisa aktifitas lagi. Meskipun
kakimu masih butuh waktu buat berjalan normal lagi.”
Aku terdiam kemudian, melayangkan
pandangan ke arah apa yang terjadi di beberapa hari ke depan. Apa yang terjadi
dengan kejutan yang kurencanakan di ulang tahunku. Jika otak dan tubuhku haris
istirahat total dalam beberapa hari, bisa dipastikan novel kejutanku tak akan
pernah selesai. Gerimis di pagi hari seakan menghancurkan hariku, siang sore
dan malam seakan tak berarti lagi buatku.
******
“Alika, sini mami suapin.”
Aku menggeleng perlahan. Tatapanku
kosong dan tubuhku sedari tadi terduduk mematung di ranjangku. Sejak keluarnya
Dokter Afandi dari kamarku, aku hanya diam dan diam. Bahkan Alea yang
menggodaku tak kugubris sama sekali.
“Alika, dari pagi kamu belum makan.
Sekarang hampir jam 2 siang nak.” Mami kembali berusaha menyadarkanku dari
kekosongan jiwaku.
Mungkin bagi sebagian orang, aku
terlalu melebihkan keadaan. Hanya ulang tahun ke-17 saja aku sampai menyiksa
diriku sendiri. Tapi entahlah, aku memang ingin memberi kejutan akan karyaku ke
orang tua. Aku tak ingin mengulang kesalahan Kak Ega, kakakku. Di saat ultahnya
yang ke-17 dia malah memberikan kami sekeluarga sureprise negatif dengan
dipergokinya dia bersama pacarnya di sebuah kamar hotel. Kami sekeluarga shock,
terlebih aku sebagai adik kesayangannya. Untuk itulah aku berusaha agar di
ultahku yang ke-17 berkesan positif bagi mereka.
Tatapanku kini mengarah ke pintu
yang diketuk dan sedetik kemudian terbuka. Ah si OB
cakep lagi ternyata yang datang, kali ini hatiku tak berbunga – bunga lagi
seperti kemarin ketika dia datang. Mungkin gejolak hatiku lebih kuat
dibandingkan perasaan sukaku melihat wajah manisnya.
“Maaf mbak, kok nasinya masih utuh.”
tanya si OB kepadaku.
“Iya, gak mud makan.” jawabku cuek.
“Wah, padahal kalau gak makan kan gak boleh minum
obat. Kalo gak minum obat, mana bisa cepat sembuh mbak.”
“Biarin, emang kamu mau apa kalo aku
gak cepat sembuh.”
Aku kaget mendengar suaraku sendiri
yang menjawab begitu jutek ke si OB cakep
tersebut. Perasaan menyesal yang kini kurasakan.
“Saya kan cuma kasihan saja sama mbak, cantik –
cantik tapi gak sembuh dari sakitnya, hehe.”
Mendengar jawaban si OB tadi, aku sedikit tersenyum. Ah, dasar cowok dimana
aja suka gombal. Tapi kenapa juga setiap cewek bila digombali langsung jadi GR
banget. Perlu dibedah secara ilmiah nampaknya, hehehe.
Senyum yang awalnya kecil tadi
begitu awet hinggap di raut wajahku, terlebih saat si OB
tadi keluar kamarku. Huh, begitu damai yang kurasa. Rasanya semua pikiran dan
lamunan burukku tadi menghilang dengan cepat. Apakah ini yang dinamakan jatuh
cinta?
********
Hari ini hari ketigaku berbaring di
RS, aku terbangun dengan ruangan kosong tak berteman, dari dekat tempatku
berdering nada dering ponselku yang berbunyi.
“Halo mami.” Jawabku mengangkat
telefon yang ternyata dari mami.
“Alika, kamu udah bangun? Mami
nganter Alea dulu ke sekolah. Kalo butuh apa – apa kamu panggil suster ya. Tadi
udah mami bilangin kok.”
“Iya mami, mami tenang aja.”
Telefon ditutup, dan sedetik
kemudian giliran nada dering perutku yang berbunyi.
“Aduh, laper.” rintihku sendirian. Aku
ingat kalau seharian kemarin tidak mengisi perutku dengan makanan secuilpun.
Andai perutku bisa berbahasa manusia pasti dia tak hanya ngomel dengan bunyi
krucuk aja. Melainkan ngomel bermacam kata mirip Pak Gatot ngomelin anak yang
berangkat telat ke sekolah.
Kulihat sebuah nasi hangat di meja
samping ranjangku. Aku berusaha menggapainya. Malas banget sih kalau hanya
ngambilin nasi harus teriak suster buat ngambilin. Namun, usahaku menggapai
impian ringanku berupa sepiring nasi hangat sulit sekali dicapai. Selain kakiku
yang masih sakit untuk dibuat gerak, badanku juga terasa kaku akibat terlalu
lama berbaring di ranjang. Usahaku seperti sudah maksimal dan akan gagal,
tetapi aku justru dikagetkan dengan satu sosok yang membantuku mengambilkan
makanan tersebut.
“Loh, kamu.” aku kaget lalu setengah
malu.
Sosok yang ternyata si Ozi, OB cakep yang masuk untuk membersihkan kamar. Kali ini
dia tak mengetuk pintu kamarku karena kemarin pagi dia masuk dalam kondisi aku
dan Alea masih tidur, sedangkan mami keluar.
“Akhirnya laper juga kan mbak, hahaha.” ejeknya.
Aku hanya diam menunduk malu.
“Aku suapin sekalian aja mbak, biar
mbaknya gak kesulitan karena tangannya diinfus.”
Aku sempat menolak, namun Ozi
memberikan senyuman mautnya sehingga dengan terpaksa (sambil kegirangan dalam
hati) menuruti apa maunya untuk menyuapiku.
Selesai sarapan, Ozi mengajakku
keliling RS. Dengan bantuan kursi roda dan juga didorong Ozi. Suasana ramai
rumah sakit membuatku sedikit bangun dari pikiran buruk seharian kemarin. Ozi
mengajakku ke taman belakang RS, dan disanalah kami beristirahat sejenak. Kami
serasa sudah lama kenal, padahal baru akrab pagi ini juga.
Di tengah asyiknya ngobrol, gerimis
datang dan membuat kami berlarian berteduh. Kami berteduh di balkon yang berada
di tengah taman.
“Masih jam 8 pagi tapi udah gerimis
gini ya Al.” kata Ozi seraya menatap langit tempat hujan berasal.
“ Iyah, aku benci gerimis di pagi hari
seperti ini.” jawabku seraya menunduk.
Aku menceritakan semuanya ke Ozi,
tentang gerimis yang membunuh semua rencanaku. Tentang kecelakaan yang
membuatku harus melupakan kejutan yang kusiapkan di pesta sweet seventeen ku.
“Al, kamu pernah merasakan gak??
Gerimis di pagi hari tapi saat sore atau malam justru cuaca langit sangat
cerah.” Ozi membuatku penasaran dengan kalimat yang diungkapkannya barusan
kepadaku.
“Maksudnya?”
“ Kita tidak akan pernah tahu kapan
hujan akan datang. Kita hanya tau tanda – tandanya saja kan? Tapi bukan berarti saat pagimu dihiasi
gerimis maka harimu sepenuhnya juga akan mengalami hal serupa. Bisa saja justru
di malam yang kamu harapkan akan menjadi bersahabat denganmu.” Ozi menjawab
dengan raut mukanya yang serius.
“Tapi Zi?” sanggahku.
“Waktumu memang gak sedikit Al buat
melanjutkan apa yang kamu rencanakan selama ini. Tapi kamu harus yakin bahwa
kamu bisa membalikkan keadaan untuk malam yang cerah dipenuhi bintang.”
*******
Aku masih memikirkan kata – kata
terakhir yang keluar dari mulut Ozi di balkon taman kemarin. Aku sendiri
bertanya, apakah aku mampu meraih malam cerahku dalam waktu sesingkat ini?
Apakah aku mampu membuat semuanya menjadi seperti sedia kala? Memang kalau
dihitung, masih ada 1 hari untuk memulai melanjutkan novel buatanku. Tapi aku
juga butuh inspirasi yang tak mudah kutuliskan dalam sesaat.
Aku melihat jam dinding di kamarku,
tepat jam setengah 8 pagi. Aku menantikan kehadiran seseorang yang pagi kemarin
membuatku tersadar dari mimpi burukku, Ozi si OB
manis dan mungkin juga seseorang yang aku cinta.
Pintuku diketuk seseorang dari luar,
dan beberapa detik kemudian terbuka. Aku siap menyambut sosok di balik pintu
tersebut dengan senyuman yang menghias di wajahku. Senyuman yang hanya bertahan
sekian detik karena sosok tersebut bukan yang aku tunggu.
“Maaf mbak, mau saya bersihkan
ruangannya.”
“Mas, kok sekarang ganti mas yang
bersihin ruangan saya? Ozi dimana?” tanyaku ke OB
yang tengah sibuk merapikan kursi di ruanganku.
“Ozi hari ini libur mbak.”jawabnya
singkat dengan senyuman yang ringan.
Aku terdiam, lumayan kecewa sih
karena sedikit demi sedikit terselip rasa kerinduan di hati ini akan sosok OB manis yang pagi kemarin menyuapiku. Setelah
membereskan ruanganku, OB tadi keluar dan
berpapasan dengan mami di pintu.
“Alika, mami ada berita baik buat
kamu?” mami memelukku ceria.
“Kamu siang ini juga sudah
dibolehkan dokter untuk pulang.” Mami semakin erat memelukku.
Aku hanya diam, entah harus merasa
senang atau sedih.
*****
Aku terduduk di ranjang, kali ini
bukan ranjang rumah sakit yang kutempati selama tiga hari terakhir. Entah kali
ini apa yang kupikirkan, pikiranku sekarang tak lagi dipenuhi dengan kebencian
akan gerimis yang membunuh semua rencana sweet seventeenku. Pikiran yang malah
merindukan gerimis pagi di balkon tengah taman rumah sakit. Merindukan sosok
yang bersamaku saat itu, sosok yang membuatku terasa berbunga – bunga saat
bersamanya.
Aku melihat ke arah meja belajarku.
Hanya ada buku cover putih polos dan sebuah pensil. Yang membuatku ingat bahwa beberapa
hari lalu aku berada di meja itu, menuliskan lanjutan novel yang kusiapkan di
hari ultahku.
Aku berjalan perlahan menuju buku
tersebut, dengan bantuan krek yang disediakan mami untuk membantuku berjalan.
Kubuka buku tersebut lembar demi lembar, tanpa kusadari air mataku menetes
mengalir membasahi pipiku. Aku sadar, novelku tinggal sedikit lagi selesai. Dan
aku harus menyelesaikannya sekarang juga. Tak ada waktu lagi.
Dengan ditemani malam yang cerah,
bintang yang menghiasi langit dan terlihat begitu indah dari luar jendela
kamarku. Aku menyelesaikan novel yang kutulis beberapa bulan ini.
“Malam
ini seakan menjawab semua keraguan pagiku. Keraguan karena gerimis pagi,
keraguan akan hari yang kujalani. Aku percaya bahwa gerimis pagi tak selalu
membuat hari kita tak bernyawa. Aku percaya dan aku bisa menyambut pagi esoknya
dengan lebih baik dari pagi ini. Aku yakin dan pasti bisa, karena senyummu juga
karena kekuatan cinta di hatiku. Selamat ulang tahun yang ke – 17 untuk diriku
sendiri.Terima kasih papa dan mami, terima kasih Kak Ega dan Alea, juga terima
kasih padamu gerimis di pagi hari.”
********
Semerbak aroma embun pagi memasuki
kamarku, ternyata aku lupa semalam tak menutup jendela kamarku. Aku terbangun
di atas kursi belajarku, kulihat buku cover putih polos yang masih membuka
tepat di halaman akhir.
“Ah, selesai sudah novel karyaku,”
gumamku bangga dengan apa yang kukerjakan semalaman.
Aku bangkit dari kursi tidurku
semalam. Menuju pintu kamar dengan bantuan krek dan buku cover putih di genggaman
tangan kiriku.
“Selamat ulang tahun Alikaaaaaaaa!”
teriak semua yang ada di balik pintu kamarku ketika aku membuka sebagian pintu
tersebut. Aku melihat Kak Ega, papa, mami dan si kecil Alea. Mereka ternyata
sudah siap di depan pintu kamarku sejak 15 menit yang lalu.
Mereka bergiliran mengucapkan
selamat atas 17 tahunku. Tak lupa aku mencium tangan papa dan mami. Kami
kemudian bercanda gurau di ruangan tengah, lengkap dengan camilan masakan mami
dari shubuh tadi. Juga boneka kado dari Kak Ega yang sengaja dibungkus dengan
kertas koran. Alangkah serunya kebersamaan ini.
“Ehm, papa mami kakak Ega dan semuanya,
Alika mau ngomong nih.” kataku yang membuat semua terdiam penasaran.
“Apa sayang? Ngomong saja. Mau
ngomong kalau Alika udah punya pacar ya.” canda papa sambil melirik genit.
“Iya mungkin Pa, denger – denger
Alika kemarin sempat jalan sama cowok pas di RS, hayooo.” kali ini mami yang
membuat jantungku deg – degan dan membuat salang tingkah raut wajahku.
“Enggak, Pa,
Mi. Alika udah nyiapin sesuatu di ulang tahun ke – 17 Alika, ini buat papa dan
mami, juga buat kak Ega.” kataku seraya menyerahkan novel bercover putih polos
ke tangan mami.
Mami dan papa hanya menjawab dengan
bahasa wajahnya. Senyum di bibir mereka sudah membuatku senang tak terkira. Kak
Ega yang penasaran mencoba merebut si cover putih dari mami, tapi selalu digagalkan
oleh papa yang ikut membaca novel karyaku bersama mami.
“Terima kasih ya Alika, kamu buat
mami dan papa jadi bangga. Walaupun hanya novel ringan tapi kamu sudah berusaha
menunjukkan apa yang kamu bisa ke kita.” mami memelukku, mencium kening dan
rambut depanku.
Papa terdiam, juga Kak Ega yang
berulang kali mengelus lenganku dengan pelan.
“Ini ada titipan Al, dari seorang
cowok yang mami temui di apotik RS kemarin sore,” tambah mami lagi seraya
memberikan selembar kertas putih padaku.
Aku membuka kertas tersebut dan
membacanya dalam hati.
“Dear
Alika, aku senang kamu sembuh. Maaf ya aku tak bisa menemuimu di hari
terakhirmu di RS. Tapi aku tetap ingin menjalin pertemanan kok denganmu. Di
bawah ini aku cantumkan nomer ponselku, kamu bisa menghubunginya kapanpun.
Semoga kamu cepat pulih dan tak lagi takut pada gerimis di pagi hari. Salam
hangat dariku, Ozi.”
Entah kenapa dengan membaca
tulisannya aku cukup berbunga – bunga. Kini yang kurasakan begitu indah,
melihat senyum semua keluargaku di hari bahagiaku. Aku tak lagi trauma akan
gerimis di pagi hari itu, karena senyummu juga karena perasaan yang timbul dari
kita bertemu. Gerimis di pagi hari yang membuat malamku malah bertabur bintang.
Terima kasih Ozi, si gerimis di pagi hari.
Sekian
Cerpen ini ngibrit ikutan lombanya Gradien - Kisah aku, kau, dan hujan
Gagal terbit sih, tapi prestasinya :
1. Yang nganterin gue buat bisa ikutan Kampus Fiksi
2. Pernah ditaksir (mungkin dia insap) sama akun Bumy Dinasty untuk jadi ghost writer di tulisannya. Meski sampai sekarang kerjasamanya juga gak jelas, dan kapan novelnya mau dimulai nulisnya.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar