“Ini, Mas, teh manisnya..”
“Matur
nuwun, Mak.”
Secangkir teh hangat terhidang
dengan angkuhnya di meja warung langgananku. Angkuh. Tanpa ada yang mendampingi
tegak berdirinya. Langit tengah mendung. Mungkin, tetesan air matanya akan jatuh
berderai membasahi bumi yang coklat ini. Kuseduh teh manis tersebut, kebulan
asap wangi tercium di atasnya.
“Lalu, kapan, Kamu bertemu dengannya
lagi?” tanya seorang teman yang duduk menyila di sebelah kananku. Tangannya
sibuk memegang batang filter kesukaannya.
Aku terdiam merenung. Pikiranku terbang ke
sebuah tempat yang kurindukan. Sebuah tempat yang kini kujadikan kota impian
kedua setelah kota kelahiranku sendiri. Tempat terindah di bulan sebelas.
“Masnya KF5 ya??” tanya gadis manis
di akun twitterku.
“Iya, mbaknya juga kah??” jawabku.
“Hehe, enggak, Mas. Aku alumni KF1.”
Ah, tak ada yang istimewa dalam
obrolan tersebut. Aku hanya tahu namanya. Nama yang tak asing bagiku,
mengingatkan seseorang di sana yang kurindukan. Juga seseorang yang pernah
kusakiti karena kutinggalkan.
Keretaku melaju perlahan. Menuju
kota yang kuniati sebagai kota pencarian ilmu kepenulisan. Dalam perjalanan,
sebuah obrolan ringan kuciptakan dengan gadis bernama familiar tersebut meski
hanya lewat twitter. Tetap. Tak ada yang istimewa.
Hariku di kota pendidikan ini berjalan seperti
yang kutebak. Penuh ilmu. Penuh rahasia yang kudapatkan. Obrolan ringanku
dengan gadis familiar tersebut juga masih berlangsung, dengan media yang sama,
juga dengan kesan yang sama.
Aku memang dikenal dingin oleh semua
orang. Hanya kuselipkan beberapa nama kecil yang mereka mampu menghangatkan
jiwanya bersamaku. Pun, dengan gadis bernama familiar tersebut saat bertemu
denganku.
“Vivi!!” ucapnya menyebut nama
megahnya tersebut.
Aku hanya menjawab singkat, dengan
senyuman yang datar.
Aku melihatnya saat matanya menatap
yang lain. Pun, mataku akan berpaling saat matanya menatap penuh harap padaku.
Itulah caraku mengenal sebuah tatapan mata. Hingga aku tahu, mata itu
menyiratkan sebuah rasa lain yang kurasa.
“Kenapa pulang?” bibirku mengucap
kata yang tak pernah kurencanakan sebelumnya. Spontan. Apakah ini yang
dinamakan sebuah harapan?
“Iya, Mas. Besok aku udah kerja.” jawabnya dengan senyum termanis yang selalu kuingat.
“Iya, Mas. Besok aku udah kerja.” jawabnya dengan senyum termanis yang selalu kuingat.
Aku hanya mampu menjabat jemarinya
yang lentik setengah basah. Tatapanku tak berhenti melihat punggungnya yang
menjauh dari jiwaku. Dia pergi. Harapanku untuk bertahan lama dengannya gagal.
Mengapa aku tiba-tiba berharap? Bukankah di awal jumpa semuanya terasa biasa
saja?
Hariku di kota ini berakhir. Tapi tidak
dengan hubungan kami. Meski kukira, gadis berjemari lentik ini tak pernah lagi
mau menghargaiku di media apapun.
“Besok hati-hati di jalan ya, Mas.”
Aku membaca pesan teks tersebut
dengan senyum melengkung. Cukupkah hanya menjadi teman biasa sudah mengkhawatirkan
perjalanan teman barunya??
Nyatanya, hatiku tersentuh. Kucoba
membuka profil pribadinya di akun jejaring sosial yang lain. Kubuka album foto
lamanya yang tertinggal dalam akun tersebut. Gadis ini manis, natural, dan aku
merasa dia memiliki mata yang berbeda. Ku lakukan kekepoan ini sembari menahan
lapar yang perih di kereta. Ah, memandang fotonya lebih mengenyangkan
dibandingkan membeli nasi goreng mahal yang ditawarkan para pelayan kereta.
***
Andai
masaku tak di sini
Apakah
kita bertemu?
Andai
jiwaku tak merangkak
Apakah
kita berjumpa?
Dan
andai hatiku mampu bergerak
Bisakah
kita bersama?
Kini
hanya kukagumimu
Sembari
berharap rasa ini kan berkembang menjadi sempurna.
Sebuah lirik hangat ku alunkan dengan petikan senar
tua dari gitar coklat. Kepalaku membeku menatap bayangan gadis kerudung merah muda
di minggu terakhir di bulan sebelas kemarin. Mampukah aku mengenalnya lebih
dalam? Mendung di atas terlihat bertikai
membentuk gumpalan yang tebal. Tak lama, hujan pun datang dengan ramai. Aku
kembali dengan gitar tua ini ke dalam kamar.
“Aku ingin menyebutmu, teh manis.”
“Kenapa??”
Tak kuberikan jawaban yang spesifik
padanya. Aku hanya memiliki filosofi kecil, bahwa teh manis adalah lambang
kedamaian. Dia menghangatkan rongga perut yang ruang. Pun, dengan rasa yang
mendamaikan semua sendi-sendi yang lelah.
“Bagaimana kalau, Mas kusebut dengan
badut?” tawarnya ringan di sebuah pesan.
“Badut??”
“Iya, karena bagiku, Mas ini lucu.”
Aku hanya mampu tertawa dalam diam.
Sial. Baru kali ini ada satu cewek yang menyebutku dengan panggilan ajaib ini.
“Jam istirahat hampir habis, Jib.
Ayo balik.” ajak teman di kananku tersebut membuyarkan semua lamunan.
Ku teguk sisa teh manis yang hampir
dingin, merasakan kedamaian yang selalu kurindukan. Kedamaian yang kudapat di
penghujung bulan sebelas. Seperti inikah filosofi teh manis berjalan? Aku tak
tahu. Tapi, aku mengaguminya dengan perlahan. Berharap suatu saat mampu damai
dalam pelukannya.
Namamu
familiar
Karena
sering ku ucap dan terdengar
Meski
begitu, hati dan jiwamu berbeda
Berharap
kedamaian yang selalu kau ciptakan
Hingga
rasa kagumku ini terus melekat dalam jiwa.





